JAKARTA - “Kerusakan Etik Bernegara”, itu judul artikel yang ditulis Bivitri Susanti dimuat di Harian Kompas (05 Mei 2022).
“Etik berkaitan dengan timbangan-timbangan berdasarkan akal budi manusia yang menuntun perilaku kita. Dalam konteks bernegara, etik lebih mendasar daripada hukum dan aturan main formal yang dibuat dalam ruang-ruang politik, yang bisa tercemar oleh berbagai kepentingan politik kelompok. Etik didasarkan pada pemikiran tentang hakikat negara, yang pada awalnya (dan pada akhirnya) haruslah tentang warga negara, bukan tentang penguasa”, tulis Bivitiri pendiri PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan) sekaligus pendiri sekolah Jentera. Bivitri sebagai aktivis perempuan yang dikenal kritis.
Menyoal soal “etik bernegara”, sebenarnya boleh dikata adalah persoalan klasik yang nyaris menimpa dan dialami semua negara atau bangsa di dunia. Menjadi persoalan ketika di bawa ke ruang kekuasaan.
Kekuasaan yang dipegang oleh sebuah kelompok politik, katakanlah hasil kesepakatan demokratis yang disebut Pemilu (Pemilihan Umum), - yang seyogyanya berada dan dikelola diatas koridor etik - , sebagai rambu - rambu pengontrol, manakala terdapat atau terjadi indikasi pemegang kekuasaan terperangkap “offside”: melabrak rambu.
Pada Mei 2013, Kepala Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM, Prof. Dr. Sudjito, S.H., M.Si., sudah lebih dahulu pernah mengatakan, “banyak politisi dan pejabat negara yang sudah tidak ada rasa malu meskipun terindikasi terlibat kasus, seolah tenang-tenang saja sambil menunggu proses hukum positif”.
Mereka tidak memberikan tanggung jawab secara moral dan menunjukkan rendahnya etika politik, kata Sudjito dalam seminar ˜Revitalisasi dan Aktualisasi Pancasila dan Penguatan Karakter Bangsa di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH).
Baca juga:
Pendukung Anies Dideklarasikan di Banten
|
Hal itu dinilainya sebagai cermin hilangnya tatanan etika dan moral yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
Lebih jauh menurut Sudjito, fenomena dunia politik Indonesia sepuluh tahun terakhir ini mengalami banyak perubahan.
Perubahan perpolitikan di Indonesia tidak hanya mengubah watak dan perilaku para politisi, partai politik, elite politik, dan penguasa, tetapi juga mengubah persepsi dan paradigma berpikir masyarakat Indonesia tentang memaknai hakikat politik itu sendiri.
“Munculnya konflik antar lembaga negara, kasus korupsi hingga terseretnya pejabat negara karena narkoba dan asusila yang duduk di lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif sebagai cermin hilangnya tatanan etika dan moral yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila”, tegasnya.
Sudjito menilai demokrasi yang dibangun dalam dunia perpolitikan saat ini adalah demokrasi yang bebas nilai, yang menyebabkan perilaku politisi dan pejabat negara jauh dari etika politik. Makna dan esensi demokrasi direduksi sebagai merebut kekuasaan. Kedaulatan tidak lagi di tangan rakyat tetapi di tangan penguasa dan lembaga politik. Lembaga politik seperti partai politik bukan lagi merepresentasikan kepentingan rakyat tetapi merepresentasikan kepentingan partai dan elite partai (https://www.ugm.ac.id).
Baca juga:
KPU Luwu Utara Gelar Sosialisasi JDIH
|
Menarik untuk menelisik hasil penelitian para pakar politik. Ditemukan beberapa faktor utama penyebab terjadinya pendegradasian nilai – nilai luhur Pancasila. Salah satunya, merebaknya penggunaan media online yang dikenal dengan sebutan media sosial (medsos). Menyuburkan lahirnya perangkat buzzer yang mendorong tumbuhnya komunitas nitizen. Sebuah masyarakat baru, yang memperoleh kebebasan berkata dan berucap apa saja. Tanpa bisa dilacak lantaran belum terjangkau oleh perangkat regulasi negeri ini.
Buzzer, adalah komunitas pendengung yang multifungsi; potensial disalahgunakan, menjadi penyebar konten antagonis. Menciptakan kericuhan dan kegaduhan dalam masyarakat. Kemudian menjadi instrumen penting di dalam industri politik. Ada yang menyebutnya sebagai makelar simbol.
Menurut Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), buzzer beresiko membangun perdebatan yang tidak produktif dan tidak sehat, karena mereka menyebarkan narasi yang bersifat menyudutkan.
Para buzzer dapat dengan mudah menggeser perdebatan ke hal-hal yang tidak substansial. Dengan demikian perhatian publik akan teralihkan, mereka bisa melakukan itu dengan berbagai narasi dan memutarkbalikan fakta.
Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) pada tahun 2017, pernah melakukan riset soal sejarah buzzer di Indonesia. Pada awalnya, keberadaan buzzer di media sosial masih dianggap sebagai hal yang lumrah dan mereka biasa dilibatkan oleh korporat dalam promosi produk.
Namun, maknanya menjadi negatif karena terlibat dalam peristiwa politik sehingga memberikan citra yang tidak bagus di mata khalayak. Sejak saat itu, buzzer mendapat cap negatif sebagai pihak yang dibayar untuk memproduksi konten negatif di media sosial.
Masih menurut CIPG, buzzer adalah individu atau akun yang memiliki kemampuan amplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian atau membangun percakapan, lalu bergerak dengan motif tertentu.
Buzzer biasanya punya jaringan luas sehingga mampu menciptakan konten sesuai konteks, cukup persuasif dan digerakkan oleh motif tertentu. Singkatnya buzzer adalah pelaku buzzing yang bertugas untuk membuat suara-suara bising seperti dengung lebah. Saat ini buzzer politik di media sosial kembali mencuat. Setelah pemilu 2019, para pendengung ini kembali jadi perbincangan karena bergerak aktif ketika terjadi gerakan massa menolak kebijakan pemerintah.
Fenomena menjamurnya industri buzzer politik ditengarai sebagai satu lahan lahan subur terjadinya pendangkalan etika berbangsa dan bernegara. Tujuan utama industri buzzer politik, adalah bagaimana merebut kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan oleh kelompok yang sedang memegang kekuasaan. Dan atas nama kekuasaan itulah terjadi pengerdilan etika berbangsa dan bernegara. Digeser ke belakang menjadi sejenis faktor dekorasi demokrasi belaka.
Jalan fikiran mereka, - yang menukar etika berbangsa dan bernegara menjadi dekorasi demokrasi untuk kekuasaan semata –, beranggapan proses merebut kemenangan melalui kontestasi demokrasi, sejak awal sudah melucuti dimensi etika. Tidak menghargai prinsip - prinsip etik. Mengemuka justru adalah, bagaimana merebut suara mayoritas akar rumput, melalui kontestasi elektoral yang penuh dengan celah rekayasa, namun kebal kontrol.
Soalnya industry politik itu , yaa itu tadi: industri buzzer politik menyediakan paket lengkap resep mujarab peraup kemenangan, dimana didalam paket itu tersedia racikan pembungkaman suara kritis kepada kekuasaaan. Sekaligus melakukan pembunuhan dimensi etika secara sarkastik.
Baca juga:
Tony Rosyid: Gagal Dipukul, Anies Dirangkul
|
Tentang bagaimana dahsyatnya rekayasa pembunuhan etika berbangsa dan bernegara, terlihat dengan mudah dapat dimatikan oleh tingginya luapan nafsu berkuasa. Bahkan etika bermanusiapun dinihilkan.
Sebuah contoh jejak sejarah, dapat dirujuk pada dialog kritis dalam drama kelas dunia berjudul “Monserrat”. Karya Emmanule Robles, sastrawan dan dramawan Perancis, yang lahir di Oran, Aljazair (Mei 1914 - 22 Februari 1995) itu, diterjemahkan sastrawan kenamaan Drs. Asrul Sani.
Drama itu dipentaskan pertama kali di Jakarta 1961 oleh seniman ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia) dengan sutradara Asrul Sani.
Pada klimaks drama itu, terjadi dialog panas antara Kolonel Isquierdo dengan Kapten Monserrat, bawahan Isquierdo yang membelot, menentang pelestarian penjajahan bangsanya atas bangsa lain.
Keduanya adalah perwira dari kesatuan tentara Spanyol yang menjajah Venezuela. Untuk memperloleh pengakuan bawahannya itu, Isquierdo memerintahkan anak buahnya menangkap enam orang penduduk biasa, yang kebetulan lewat di depan tangsi tentara. Penduduk yang tertangkap, diancam ditembak mati, apabila Monserrat tidak mau memberitahukan dimana Simon Bolivar, - pemimpin perlawanan itu - bersembunyi.
Satu persatu rakyat yang tidak berdosa diperintahkan ditembak mati, setiap kali Monserrat menolak untuk buka mulut. Salah seorang rakyat yang tidak berdosa, yang belum sempat ditembak mati, memberanikan diri bertanya kepada Isquierdo: “Kolonel, apa salah kami, sehingga kami harus kamu bunuh..?”. Dengan dingin Kolonel itu menjawab, sambil tersenyum pahit : “Satu – satunya kesalahan kalian, karena kalian tidak bersalah”.
Fakta itu menunjukkan betapa etika berbangsa dan bernegara, bahkan etika bermanusiapun, punya sejarah panjang kelam tentang tidak pentingnya etika, untuk pelestarian sebuah kekuasaan.
Jakarta, 7 Mei 2022
Zainal Bintang
Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya