HUKUM - Mari kita mulai dengan sebuah pertanyaan: apa yang membuat seorang menteri tiba-tiba begitu gemar impor? Bayangkan sebuah negeri kaya raya, tanahnya subur, lautnya penuh ikan, dan gunung-gunungnya menyimpan emas. Tapi anehnya, hampir semua kebutuhan dasar rakyatnya malah diimpor. Beras dari negeri tetangga, garam dari negara lain, bahkan gula—yang katanya manis—juga didatangkan dari luar. Kalau begini caranya, petani kita bisa jadi hanya jadi penonton di tanah sendiri.
Nah, ketika fenomena "impor-mania" ini menjadi-jadi, wajar dong kalau masyarakat mulai curiga. Apakah menteri-menteri ini benar-benar berpikir untuk rakyat, atau ada “tepuk tangan di balik layar”? Kecurigaan ini semakin panas ketika Kejaksaan Agung mulai bergerak menangkap oknum pejabat yang terlibat permainan kotor. Tapi, masalahnya, kenapa yang ditangkap hanya segelintir? Kalau mau adil, semua menteri yang doyan impor tanpa alasan jelas harus ditangkap. Kalau tidak, ya nanti muncul tuduhan tebang pilih.
Impor: Simbol Keterbalikan Logika
Di atas kertas, Indonesia adalah negeri kaya raya yang tidak ada tandingannya. Tapi kenyataan berkata lain. Setiap kali kita bicara soal impor pangan, sebenarnya kita sedang bicara tentang ironi. Petani lokal kita mati-matian menanam padi, tapi yang dibeli malah beras dari luar negeri. Nelayan berjuang melawan badai, tapi pasar penuh dengan ikan impor. Di mana letak keadilan dalam semua ini?
Lebih menyedihkan lagi, kebijakan impor ini sering kali didukung oleh dalih "demi stabilitas harga" atau "memenuhi kebutuhan pasar." Masalahnya, siapa yang diuntungkan? Rakyat kecil? Rasanya tidak. Justru para tengkulak, perusahaan besar, atau mungkin oknum-oknum tertentu yang menikmati manisnya kue impor. Dan di sinilah Kejaksaan Agung seharusnya masuk: bukan sekadar menangkap beberapa orang, tetapi membersihkan seluruh akar masalah ini.
Kejaksaan Agung dan Pilihan yang Berat
Kita tahu, menangkap menteri bukan perkara mudah. Ada pertimbangan politik, tekanan dari berbagai pihak, dan tentu saja risiko kegaduhan publik. Tapi inilah momen di mana Kejaksaan Agung bisa menunjukkan keberanian sejati. Kalau mereka serius ingin menegakkan hukum, semua yang terlibat dalam kebijakan impor bermasalah harus ditindak tegas. Tidak peduli menteri itu datang dari partai besar, partai kecil, atau bahkan golongan independen.
Jika hanya sebagian yang ditangkap, apa kata rakyat? "Oh, Kejaksaan cuma berani ke menteri kecil, yang gede dibiarkan." Atau lebih buruk lagi: "Ada apa di balik tebang pilih ini?" Tuduhan semacam ini bukan hanya merusak kredibilitas Kejaksaan, tetapi juga melemahkan semangat penegakan hukum di negeri ini.
Mengupas Dalih-Dalih Impor
Sekarang mari kita bedah sedikit dalih para menteri yang doyan impor. Biasanya, mereka akan bilang: "Kita harus impor untuk memenuhi kebutuhan rakyat." Benar, ada saatnya impor memang diperlukan, seperti ketika produksi lokal gagal total karena bencana. Tapi, jika setiap tahun impor terus meningkat sementara produksi lokal stagnan, ini bukan lagi soal kebutuhan mendesak. Ini soal kebijakan yang salah arah—atau sengaja diarahkan.
Lebih parah lagi, ada indikasi bahwa kebijakan impor sering diwarnai aroma korupsi. Impor berlebihan menjadi pintu masuk bagi praktik suap, kolusi, dan kongkalikong dengan perusahaan asing. Ini bukan sekadar masalah ekonomi, tetapi juga soal penghancuran moral bangsa.
Menggelitik Kejaksaan Agung: Berani Gak?
Di sinilah Kejaksaan Agung harus berperan sebagai penjaga keadilan yang sejati. Kalau mau adil, tangkap semuanya! Jangan pedulikan partai atau koneksi. Tindak semua menteri yang terlibat, dari yang kemarin sampai yang sekarang. Dan kalau ada yang bilang, "Ini terlalu berisiko, " ya itulah harga keadilan. Kalau tidak berani, lebih baik jangan bicara soal hukum sama sekali.
Rakyat sudah muak dengan pola lama: tebang pilih, sandiwara politik, dan janji-janji palsu. Saatnya menunjukkan bahwa hukum masih punya taring. Kalau perlu, buat sebuah operasi besar-besaran khusus untuk mengusut kebijakan impor bermasalah ini. Biarkan semua pihak tahu, di negeri ini, tidak ada yang kebal hukum.
Baca juga:
Polisi Bekuk Pencabul Anak-anak di Masjid
|
Menuju Sistem yang Benar-Benar Mandiri
Tentu saja, menangkap para menteri itu baru langkah pertama. Setelah itu, sistemnya juga harus dibenahi. Kebijakan impor harus dirancang secara transparan, melibatkan para ahli, dan tentunya berpihak pada kepentingan nasional. Selain itu, perlu ada dukungan nyata bagi petani, nelayan, dan produsen lokal agar mereka bisa bersaing di pasar. Jangan sampai kita hanya sibuk menangkap oknum, tetapi melupakan reformasi sistem yang lebih besar.
Adil atau Nanggung?
Keadilan itu sifatnya total, tidak setengah-setengah. Kalau Kejaksaan Agung mau dianggap serius, mereka harus menangkap semua menteri tukang impor yang terbukti bersalah. Jangan ada tebang pilih. Hukum harus berdiri tegak di atas semua kepentingan, tanpa peduli siapa yang terlibat.
Dan untuk para menteri yang mungkin merasa "aman-aman saja, " ingatlah: rakyat selalu mengawasi. Hari ini mungkin kalian lolos, tapi sejarah tidak pernah lupa. Keberanian Kejaksaan Agung adalah cerminan harapan rakyat, dan kalau ini dijalankan dengan benar, kita mungkin akhirnya bisa mengatakan: "Hukum itu adil, tanpa pandang bulu."
Jakarta, 16 November 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi